Get the Flash Player to see this player.

My Photos Galery

Kumpulan Foto Koleksi Pribadi Admin.

Kumpulan Sebagian Puisi W.S. Rendra

W.S. Rendra merupakan seniman yang terkenal dengan puisi-puisi ciptaannya. Berikut merupakan sebagian dari hasil karyanya.

slide 3 is under constructions

This Content is Under Constructions by Admin

slide 4 is under constructions

This Content is Under Constructions by Admin

SMK ISSUDA 2 AMBARAWA

Sekolah dimana Admin makan perabot pendidikan bidang TKJ (Teknik Komputer dan Jaringan). Terimakasih sekolah atas makanan yang diberikan kepada saya (Admin).

Saturday, April 27, 2013

HATI MUSIM PANAS


 

Entah apa pikirnya
Terkesan bingung tak jelas bertapak
Muungkin tak selurus hatinya
Terucap kata tak berpisah
Tapi apalah artinya
Pergi jauh sendiri entah untuk siapa

Padang pasir merah berdebu
Kering tak gelap berawan
Mungkin itu dia
Merasa benar meskipun salah
Hingga tak bisa ku tanam sebuah kesuburan
Dia kering dia tak tersentuh

Entah kenapa
Berjalan sendiri didepan ku
Mungkin dia menganggap ku sama
Secuil hati hampa, tak bisa berarti untuknya

Tuesday, April 23, 2013

Membuat efek Lomo pada foto

Dengan kamera lomo kita dapat menghasilkan suatu karya fotografi yang unik dan berbeda dari foto yang pada umumnya. Nah berhubung kita ndak punya kameranya so kita racik ja di photoshop agar foto kita seolah-olah hasil jepretan dari kamera LOMO tersebut.

Ok langsung saja ikuti langkah-langkahnya dibawah ini:
1. Pertama buka foto yang akan kita jadikan efek Lomografi, kali ini sy menggunakan foto avril.
image ilmugrafis
Klik Kanan dan Save as gambar di atas untuk contoh latihan

2. Setelah itu kita akan memanfaatkan fasilitas Curves yang ada pada photoshop.
Oya kita tentunya sudah tau bahwa di dalam dunia desain ada dua macam pengeditan pada sebuah image, yaitu:
- mengedit langsung difotonya (merusak) dan
- mengedit secara tidak langsung (mask/menutupi)
Tentunya cara yang pertama ni diharamkan :-D karna jelas ini kurang efektif jika nantinya dalam pengeditan terjadi yang namanya kesalahan.
Untuk itu ditutorial ini kita akan menggunakan cara kedua.
image ilmugrafis
(contoh mengedit foto yang merusak langsung pada foto langsung melalui IMAGE > ADJUSMENT > ...)

image ilmugrafis
(contoh pengeditan foto yang tidak langsung merusak foto (mask/menutupi) melalui ADJUSMENT FILL LAYER di Pallet layer )

Jadi sifatnya tidak merusak langsung pada foto tapi dia menutupi/langsung membuat layer baru jika kita menggunakan fasilitas melalui cara ini.

OK sekarang kita buka fasilitas Curves menggunakan cara yang kedua tadi:
image ilmugrafis

3. Setelah itu akan muncul jendela pengaturan CURVES. Atur seperti dibawah ini:
image ilmugrafis
(pengaturan di Chanel RGB)

image ilmugrafis
(pengaturan di Chanel BLUE)

image ilmugrafis
(pengaturan di Chanel GREEN)

4. Setelah itu kita akan memberikan efek GRADIENT MAP
image ilmugrafis

Lalu atur seperti pada gambar dibawah ini:
Preset: black with
image ilmugrafis

image ilmugrafis
Blending mode: overlay
Opacity: 46 (silahkan dimodifikasi)

5. Setelah itu kita gunakan juga fasilitas Fiil gradient: atur sesuai dengan gambar:
image ilmugrafis

preset: foreground to transparan
style: Radial
reverse dan align with layer aktifkan (centang )
image ilmugrafis

Nah jangan lupa blanding mode pada layer GRADIEN FILL 1 ubah menjadi OVERLAY:
Lihat gambar dibawah.
image ilmugrafis

6. Akhirnya selesai juga..mudah bukan???
efek lomografi

Efek Hover Ketupat Pada Gambar disetiap Postingan



Bagaimana menambahkan efek ketupat seperti pada blog ini, maka langsung saja saya posting bagaimana cara membuatnya. Berikut tutorial nya
Silahkan Copy Kode Berikut :
===========================================================
/*--Hover--*/
.post img {
    border-radius: 30px 0 30px 0;
    -moz-border-radius: 30px 0 30px 0;
    -webkit-border-radius: 30px 0 30px 0;
    -o-border-radius: 30px 0 30px 0;
    transition: all 0.5s;
    -moz-transition: all 0.5s;
    -webkit-transition: all 0.5s;
    -o-transition: all 0.5s;
}
.post img:hover {
    box-shadow: 1px 1px 10px 3px rgba(0,0,0,0.5);
    border-radius:0;
    -moz-border-radius:0;
    -webkit-border-radius:0;
    -o-border-radius:0;
}
===========================================================
Buka Rancangan Template Blog sobat, kemudian letakan kode tersebut tepat diatas kode  ]]>



Setelah itu, disimpan.. Maka secara terotomatisasi setiap gambar yang ada didalam postingan sobat akan ditampilkan dengan efek tersebut.

Photos Retouch Colections


Monday, April 22, 2013

SERAT DARMOGANDUL : SUNAN BONANG DAN BUTO LOCAYA

Majapahit. Pada suatu hari, Darmogandul bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal mula orang Jawa meninggalkan agama Budha yang dianutnya dan berganti menjadi agama Islam.


Lantas, Ki Kalamwadi-pun menjawab, "Aku tidak mengerti. Tetapi guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti memeluk agama Islam. Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu."

Putri Campa
Pada zaman dahulu Majapahit bernama Majalengka. Majapahit hanyalah sebuah kiasan. Bagi yang belum mengetahui ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan.

Prabu Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik dengan Islam.

Ketika mereka sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama itu. Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam.

Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad. Ia memohon izin untuk menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento- Surabaya.

Banyak ulama dari seberang datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu memohon izin untuk tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya mereka berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.

Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam yang tinggal di daerah Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid Kramat namanya. Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.

Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam.

Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih dari 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati.

Manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melaksanakan. Sedang yang menggerakkan semua ialah budi.

Raden Patah
Sang Prabu mempunyai seorang putra yang bernama Raden Patah. Ia lahir di Palembang dari rahim seorang Putri Cina. Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen (Husein).

Sang Prabu bingung memberi nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang lahir di pengunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang. Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib.

Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan. Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain.

Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah Patah. Sampai saat ini, keturunan pembauran antara Cian dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya.

Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel.

Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.

Ajaran Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan artinya budi. Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk.

Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya. Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur.

Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan. Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.


Sunan Bonang
Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang meluap.

Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat. Sudah Islam atau masih beragama Budha.

Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso. Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.

Kata Sunan Bonang, "Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah." Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.

Perawan Tua Hari terik
Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud.

Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun. "Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu.

Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya.

Ia menjawab kasar : "Kamu baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."

Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.

Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan kimpoi sebelum menjadi jejaka tua. Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun.

Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang. Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air. Perempuan-perempuan nya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.

Demit
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya.

Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu lagi.

Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar.

Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya. Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buto Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara.

Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.

Sebutan itu hampir menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di sekitarnya. Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah Kyai Daka.

Sang Prabu dijamu Kyai Daka. Sang Prabu suka dengan keramahan itu. Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti Tunggulwulung. Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.

Ketika Prabu Jayabaya moksa (mati bersama raganya hilang) bersama Ni Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut moksa. Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin. Semua mahluk halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu Angin-Angin. Buta Locaya menempati Selabale. Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar tidak merusak desa sekitar.

Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Panji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.

Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.

Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murka. Tubuhnya bagaikan api. Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang. Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang.

Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.

Kyai Sumbre berdiri di bawah pohon. Menghadang perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara. Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan menghadapi wibawa Sunan Bonang.

Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan dan demam.

Debat Soal Tuhan dan Kebenaran
Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan Bonang dengan tegas menyatakan bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedhah karena tidak jelas agamanya. "Kusabdakan sulit air karena ketika aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat jodoh karena yang kumintai air itu perawan desa."

Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang. Salah yang tak seberapa, apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat karena merusak daerah.

Sunan Bonang menjawab, ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka. Debat Soal Kebenaran Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Buta Locaya berkata masygul : "Ucapan tuan bukan ucapan yang paham akan aturan negara. Itu hanya pantas diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah madat, yang hanya mengandalkan kesaktian.

Janganlah sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat, lalu berbuat sekehendak hati. Tidak melihat kesalahan, menganiaya orang lain tanpa sebab. Meskipun di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi mereka baik budi dan takut kepada laknat dewa. Tuan akan dijauhi orang-orang baik budi bila tetap berbuat demikian.

Apakah tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil? Aji Saka menjadi raja di Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air di Medang. Ia suka membuat sulit air.

Tuan mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak, tetapi ternyata tidak demikian. Tuan layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas naik darah. Sunan apakah itu ?

Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa. Itulah jalan celaka, tanda bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."

Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak selamanya dengan manusia, tetapi hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah yang terlanda banjir hamba mohon untuk mengembalikan. Semua orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati. Hamba akan meminta bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan."

Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Ia berkata, "Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku. Aku hanya bisa membatasi saja. Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti semula."

Buta Locaya mendengar kesediaan Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya. "Kembalikan sekarang juga. Bila tidak, tuan akan hamba ikat."

"Sudah, jangan berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke timur. Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Setan dan manusia saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan manusia dengan setan.

Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran."

Debat Soal Tuhan
Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Terkenal sampai kini di Kota Gedhah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan akal.

Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.

Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya.

"Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekat para wanita Jawa.

Sunan Bonang pun berkata, "Kau ini bangsa hantu. Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong. "Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu Hantu," kata Buta Locaya

Sunan Bonang berkata, Trenggulun ini kuberinama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.

Ki Kalamwadi berkata : "Terkenal sampai kini, buah trenggulun bernama kentios karena ucapan Sunan Bonang. Semua itu menurut cerita guruku menurut cerita guruku bernama Raden Budi.

Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba.

Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling." Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.

Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanan patung itu dipatahkan, dan dahinya diludahi.

Buta Locaya marah lagi. "Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu?"

"Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin."

Kata Buta Locaya, "Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani. Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia".

Para hantu mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana? Telah lazim setan tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa nyaman.

Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar. Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia."

Sunan Bonang Khilaf 
Buta Locaya berkata, "Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan? Mendapat wahyu agar pandai. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Sedangkan yang membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.

Tuan perpedoman pada kitab, orang Jawa pun berpedoman petuah dari para leluhurnya. Sama-sama menghargai kabar, lebih baik menghargai kabar dari leluhur kita sendiri dengan peninggalan yang masih bisa disaksikan.

Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh.

Pria tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan ukur. Seandainya tidak benar, pukullah.

Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi? Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini.

Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang?

Lalu akan hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah? Inginkah tuan tinggal di Batu seperti hamba? Mari ke Selabale menjadi murid hamba."

Sunan Bonang : "Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan."

Buta Locaya berkata, " Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum tentu seperti hamba.

Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya. Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan menentang adat, menentang agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur. Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado."

Sunan Bonang tak menggubris. Ia berkata : "Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena aku kecelung (sesat) pemikiran dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan pemikiran. [Sampai kini buah dadap bernama kledung, bunganya bernama celung] Sudah, aku akan pulang ke Bonang."

Buta Locaya berkata, " Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas. Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air, dan mengurangi air."

TAHANAN

Oleh :
W.S. Rendra
Atas ranjang batu 
tubuhnya panjang
 
bukit barisan tanpa bulan
 
kabur dan liat
 
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong 
jantung matanya
 
para pemuda bertangan merah
 
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes 
lewat mimpi
 
darah di cawan tembikar
 
dijelmakan satu senyum
 
barat  di perut gunung
 
(Para pemuda bertangan merah
 
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi 
di luar dirinya
 
Anak lonceng
 
menggeliat enam kali
 
di perut ibunya
 
Mendadak
 
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya 
dan berkata
 
-He, pemberontak
 
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo 
ia meludah
 
tapi tak dikatakannya
 
-Semalam kucicip sudah
 
betapa lezatnya madu darah.
Dan tak pernah didengarnya 
enam pucuk senapan
 
meletus bersama

SAJAK WIDURI UNTUK JOKI TOBING

Oleh : 
W.S. Rendra
 
Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir. 
Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.
 
Orang-orang miskin menentang kemelaratan.
 
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu,
 
kerna wajahmu muncul dalam mimpiku.
 
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu
 
karena terlibat aku di dalam napasmu.
 
Dari bis kota ke bis kota
 
kamu memburuku.
 
Kita duduk bersandingan,
 
menyaksikan hidup yang kumal.
 
Dan perlahan tersirap darah kita,
 
melihat sekuntum bunga telah mekar,
 
dari puingan masa yang putus asa.
Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977

SAJAK TANGAN

Oleh : 
W.S. Rendra
 
Inilah tangan seorang mahasiswa, 
tingkat sarjana muda.
 
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai, 
yang terpegang anderox hostes berumbai,
 
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu, 
tak ada jawaban.
 
Aku tendang pintu,
 
pintu terbuka.
 
Di balik pintu ada lagi pintu.
 
Dan selalu :
 
ada tulisan jam bicara
 
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana 
dan aku keluar mengembara.
 
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan 
muncul di depanku.
 
Tanganku aku sodorkan.
 
Nampak asing di antara tangan beribu.
 
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur, 
tangan nelayan yang bergaram,
 
aku jabat dalam tanganku.
 
Tangan mereka penuh pergulatan
 
Tangan-tangan yang menghasilkan.
 
Tanganku yang gamang
 
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong, 
tangan pejabat,
 
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
 
Tanganku yang gamang dicurigai,
 
disikat.
Tanganku mengepal. 
Ketika terbuka menjadi cakar.
 
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
 
Di setiap meja kantor
 
bercokol tentara atau orang tua.
 
Di desa-desa
 
para petani hanya buruh tuan tanah.
 
Di pantai-pantai
 
para nelayan tidak punya kapal.
 
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
 
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
 
Tanganku mengepal.
 
Tetapi tembok batu didepanku.
 
Hidupku tanpa masa depan.
Kini aku kantongi tanganku. 
Aku berjalan mengembara.
 
Aku akan menulis kata-kata kotor
 
di meja rektor
TIM, 3 Juli 1977

SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA

Oleh
W.S. Rendra 

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972

SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API

Oleh
W.S. Rendra


Bagaimana mungkin kita bernegara 
Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
 
Bagaimana mungkin kita berbangsa
 
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
 
bersama ?
 
Itulah sebabnya
 
Kami tidak ikhlas
 
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
 
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
 
sehingga menjadi lautan api
 
Kini batinku kembali mengenang
 
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
 
bau asap, bau keringat
 
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
 
langit berwarna kesumba
Kami berlaga 
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
 
Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
 
yang bisa dialami dengan nyata
 
Mana mungkin itu bisa terjadi
 
di dalam penindasan dan penjajahan
 
Manusia mana
 
Akan membiarkan keturunannya hidup
 
tanpa jaminan kepastian ?
Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah 
Hidup yang diperkembangkan
 
dan hidup yang dipertahankan
 
Itulah sebabnya kami melawan penindasan
 
Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
 
bangsa tetap terjaga
Kini aku sudah tua 
Aku terjaga dari tidurku
 
di tengah malam di pegunungan
 
Bau apakah yang tercium olehku ?
Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu 
yang dibawa oleh mimpi kepadaku ?
 
Ataukah ini bau limbah pencemaran ?
Gemuruh apakah yang aku dengar ini ? 
Apakah ini deru perjuangan masa silam
 
di tanah periangan ?
 
Ataukah gaduh hidup yang rusuh
 
karena dikhianati dewa keadilan.
 
Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
 
dibangunkan oleh mimpi ?
 
Apakah aku tersentak
 
Oleh satu isyarat kehidupan ?
 
Di dalam kesunyian malam
 
Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !
 
Apakah yang terjadi ?
Darah teman-temanku 
Telah tumpah di Sukakarsa
 
Di Dayeuh Kolot
 
Di Kiara Condong
 
Di setiap jejak medan laga. Kini
 
Kami tersentak,
 
Terbangun bersama.
 
Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
 
Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ?
Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu, 
Apakah kita masih sama-sama setia
 
Membela keadilan hidup bersama
Manusia dari setiap angkatan bangsa 
Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
 
Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
 
Dan menghadapi pertanyaan jaman :
 
Apakah yang terjadi ?
 
Apakah yang telah kamu lakukan ?
 
Apakah yang sedang kamu lakukan ?
 
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
 
Dari jawaban yang kita berikan.
Sajak-sajak : Rendra, Sutardji Calzoum Bachri 
pada Hari Kebangkitan Nasional 1990

SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON

Oleh : 
W.S. Rendra
 
Inilah sajakku, 
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
 
dengan kedua tangan kugendong di belakang,
 
dan rokok kretek yang padam di mulutku.
Aku memandang zaman. 
Aku melihat gambaran ekonomi
 
di etalase toko yang penuh merk asing,
 
dan jalan-jalan bobrok antar desa
 
yang tidak memungkinkan pergaulan.
 
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
 
Aku meludah di atas tanah.
Aku berdiri di muka kantor polisi. 
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
 
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
 
Dan sebatang jalan panjang,
 
punuh debu,
 
penuh kucing-kucing liar,
 
penuh anak-anak berkudis,
 
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
Aku berjalan menempuh matahari, 
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
 
yang kotor dan penuh penipuan.
 
Aku mendengar orang berkata :
 
“Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.
 
Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
 
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
 
Mengatasi kemiskinan
 
meminta pengorbanan sedikit hak asasi”
 
Astaga, tahi kerbo apa ini !
Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ? 
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
 
justru untuk membela yang mapan dan kaya.
 
Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,
 
dibikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang diberhalakan, 
berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.
Aku mendengar bising kendaraan. 
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
 
Aku mendengar warta berita.
 
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
 
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
 
seorang yang gigih, melawan buruh,
 
telah diculik dan dibunuh,
 
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan. 
Kakiku ngilu,
 
dan rokok di mulutku padam lagi.
 
Aku melihat darah di langit.
 
Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.
 
Yang kuasa serba menekan.
 
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
 
Bajingan dilawan secara bajingan.
 
Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
 
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
 
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
 
Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
 
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?
 
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
 
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?
 
Apakah kata nurani kemanusiaan ?
O, Senjakala yang menyala ! 
Singkat tapi menggetarkan hati !
 
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !
O, gambaran-gambaran yang fana ! 
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
 
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
 
maka nurani dibius tipudaya.
 
Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !
 
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
 
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
 
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
 
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
 
Sebagai seorang manusia.
Pejambon, 23 Oktober 1977

SAJAK SEONGGOK JAGUNG

Oleh : 
W.S. Rendra
 
Seonggok jagung di kamar 
dan seorang pemuda
 
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu, 
sang pemuda melihat ladang;
 
ia melihat petani;
 
ia melihat panen;
 
dan suatu hari subuh,
 
para wanita dengan gendongan
 
pergi ke pasar ………..
 
Dan ia juga melihat
 
suatu pagi hari
 
di dekat sumur
 
gadis-gadis bercanda
 
sambil menumbuk jagung
 
menjadi maisena.
 
Sedang di dalam dapur
 
tungku-tungku menyala.
 
Di dalam udara murni
 
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar 
dan seorang pemuda.
 
Ia siap menggarap jagung
 
Ia melihat kemungkinan
 
otak dan tangan
 
siap bekerja
Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar 
dan seorang pemuda tamat SLA
 
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
 
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu 
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
 
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
 
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
 
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
 
Ia melihat nomor-nomor lotre.
 
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
 
Seonggok jagung di kamar
 
tidak menyangkut pada akal,
 
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar 
tak akan menolong seorang pemuda
 
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
 
dan tidak dari kehidupan.
 
Yang tidak terlatih dalam metode,
 
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
 
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
 
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
 
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya : 
Apakah gunanya pendidikan
 
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
 
di tengah kenyataan persoalannya ?
 
Apakah gunanya pendidikan
 
bila hanya mendorong seseorang
 
menjadi layang-layang di ibukota
 
kikuk pulang ke daerahnya ?
 
Apakah gunanya seseorang
 
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
 
atau apa saja,
 
bila pada akhirnya,
 
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
 
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Tim, 12 Juli 1975

SAJAK SEBOTOL BIR

Oleh : 
W.S. Rendra
 
Menenggak bir sebotol, 
menatap dunia,
 
dan melihat orang-orang kelaparan.
 
Membakar dupa,
 
mencium bumi,
 
dan mendengar derap huru-hara.
Hiburan kota besar dalam semalam, 
sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !
 
Peradaban apakah yang kita pertahankan ?
Mengapa kita membangun kota metropolitan ? 
dan alpa terhadap peradaban di desa ?
 
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
 
dan tidak kepada pengedaran ?
Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri, 
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
 
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
 
Kota metropolitan di sini,
 
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
 
Australia, dan negara industri lainnya.
Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ? 
Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
 
Kini telah terlantarkan.
 
Menjadi selokan atau kubangan.
 
Jalanlalu lintas masa kini,
 
mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
 
adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
 
pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
 
bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.
Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus, 
tidak untuk petani,
 
tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.
Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai. 
Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
 
tanpa ada daya untuk menciptakan.
 
Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?
Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ? 
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
 
yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan……..
 
harus senantiasa menghasilkan….
 
Dan akhirnya memaksa negara lain
 
untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?
 
…………………………….
Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ? 
Apakah pemikiran ekonomi kita
 
hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?
 
Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?
 
Apakah kita akan hanyut saja
 
di dalam kekuatan penumpukan
 
yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
 
terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?
 
……………………………….
Kita telah dikuasai satu mimpi 
untuk menjadi orang lain.
 
Kita telah menjadi asing
 
di tanah leluhur sendiri.
 
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
 
dan menghamba ke Jakarta.
 
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
 
dan menghamba kepada Jepang,
 
Eropa, atau Amerika.
Pejambon, 23 Juni 1977

SAJAK SEBATANG LISONG

Oleh : 
W.S. Rendra
 
Menghisap sebatang lisong 
melihat Indonesia Raya,
 
mendengar 130 juta rakyat,
 
dan di langit
 
dua tiga cukong mengangkang,
 
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit. 
Fajar tiba.
 
Dan aku melihat delapan juta kanak-ka
nak 
tanpa pendidikan.
Aku bertanya, 
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
 
membentur meja kekuasaan yang macet,
 
dan papantulis-papantulis para pendidik
 
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak 
menghadapi satu jalan panjang,
 
tanpa pilihan,
 
tanpa pepohonan,
 
tanpa dangau persinggahan,
 
tanpa ada bayangan ujungnya.
 
…………………
Menghisap udara 
yang disemprot deodorant,
 
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
 
berpeluh di jalan raya;
 
aku melihat wanita bunting
 
antri uang pensiun.
Dan di langit; 
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas, 
bahwa bangsa mesti dibangun;
 
mesti di-
up-grade 
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang. 
Langit pesta warna di dalam senjakala
 
Dan aku melihat
 
protes-protes yang terpendam,
 
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, 
tetapi pertanyaanku
 
membentur jidat penyair-penyair salon,
 
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
 
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
 
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
 
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan 
berkunang-kunang pandang matanya,
 
di bawah iklan berlampu neon,
 
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
 
menjadi gemalau suara yang kacau,
 
menjadi karang di bawah muka samodra.
 
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. 
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
 
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
 
Kita mesti keluar ke jalan raya,
 
keluar ke desa-desa,
 
mencatat sendiri semua gejala,
 
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku 
Pamplet masa darurat.
 
Apakah artinya kesenian,
 
bila terpisah dari derita lingkungan.
 
Apakah artinya berpikir,
 
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977 
ITB Bandung
 
Potret Pembangunan dalam Puisi
Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaya.

Daftar Isi