Nama Lengkap : Willibrordus Surendra Broto Rendra
Tempat /Tgl Lahir: Solo, 7 November 1935
Nama Julukan : “Burung Merak”.
Karir : Pendiri Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga
Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif
menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
Masa kecil
Anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu
Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan
Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan
tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton
Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota
kelahirannya itu
Pendidikan
- TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
- SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo – Tamat pada tahun 1955.
- Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta – Tidak tamat.
- Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 – 1967).
Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku
SMP. dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai
kegiatan sekolahnya, piawai di atas panggung mementaskan beberapa
dramanya dan tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Pada tahun 1952 ia petama kali mempublikasikan puisinya di media
massa melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar
mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni,
Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti
terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah
tahun 60-an dan tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP,
dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang
mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di
SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof.
A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989),
berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra
tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti
Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya
terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga
di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di
antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979),
The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner
Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the
Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival,
Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo
Festival (1995).
Bengkel Teater
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan
grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia
pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968),
ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel
Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam
kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih
berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang
besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan
dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang
berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974″. Karya
Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama
Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras
Gedichtsammlungen (1957-1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der
Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in
Berlin: Hamburg 1977.
Penghargaan
- Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
- Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
- Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
- Hadiah Akademi Jakarta (1975)
- Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
- Penghargaan Adam Malik (1989)
- The S.E.A. Write Award (1996)
- Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti
Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra
mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel
Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah
Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton
Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di
Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya,
antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi
istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya
kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo
Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang
tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda
Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah
menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon
drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat
syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan
saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis
seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan
tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam
sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan
Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito.
Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab
persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan
individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa
memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu
saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa
Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.
Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra
dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia
menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang
rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta.
Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya,
Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!.
Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari
Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi
Srikandi, dan Rachel Saraswati
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan
mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias
Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal
karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi
pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Beberapa karya Drama
- Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
- Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
- SEKDA (1977)
- Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 2 kali)
- Mastodon dan Burung Kondor (1972)
- Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
- Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
- Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul “Oedipus Rex”)
- Lisistrata (terjemahan)
- Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
- Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
- Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali)
- Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: “La Guerre de Troie n’aura pas lieu”)
- Panembahan Reso (1986)
- Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)